Daun-daun maple berjatuhan, menari mengikuti irama angin musim gugur, di kuil yang telah menjadi saksi bisu persahabatan kami. Aku, Lin Wei, dan dia, Jiang Chen, tumbuh bersama di tempat ini. Kami bagaikan dua sisi koin perak; berbeda, namun tak terpisahkan. Kami bersumpah setia di bawah langit yang sama, langit yang kini menyaksikan PENGKHIANATAN.
Jiang Chen selalu yang lebih tenang, lebih bijaksana. Sementara aku, Lin Wei, si pemberani yang gegabah. Kami saling melengkapi, saling melindungi. Kami adalah saudara seperguruan, sahabat sejati, sekutu abadi. Setidaknya, itulah yang aku percayai.
"Wei, kau ingat janji kita?" Suaranya lirih, namun terasa mengiris tulang. Dia menatapku dengan mata setajam belati. Kami berdiri di depan altar leluhur, tempat janji itu diucapkan.
"Tentu, Chen. Janji untuk saling melindungi, sampai akhir zaman," jawabku, dengan senyum getir yang kupaksakan. Aku merasakan sesuatu yang aneh. Aura yang berbeda. Dia tidak lagi Jiang Chen yang kukenal.
Misteri mulai terkuak ketika Guru jatuh sakit. Racun. Racun yang hanya bisa dibuat oleh seseorang dengan pengetahuan mendalam tentang ramuan dan… sejarah keluarga Jiang. Desas-desus beredar tentang harta tersembunyi yang diwariskan turun-temurun. Harta yang konon bisa memberikan kekuasaan tak terbatas.
"Mereka bilang, kau tahu di mana harta itu disembunyikan, Chen," ujarku suatu malam, ketika kami berlatih pedang di bawah rembulan. Cahaya bulan menyoroti wajahnya, membuatnya tampak seperti siluet iblis.
Dia tertawa. Tawa yang dingin, tanpa emosi. "Harta? Kau percaya pada omong kosong itu, Wei? Kau naif sekali."
"Lalu, siapa yang meracuni Guru?"
Mata Jiang Chen berkilat. "Mungkin orang yang iri dengan bakatnya. Mungkin…" Dia berhenti, menatapku lekat-lekat. "…mungkin orang yang ingin menggantikannya."
Setiap kata adalah pisau yang dihunus perlahan. Aku merasakan darahku membeku. Apakah dia… menuduhku?
Kebenaran terungkap pada malam festival lentera. Kami bertarung di puncak menara kuil, di bawah tatapan dingin langit. Pedang kami berdenting keras, menciptakan simfoni kematian.
"Kau yang meracuni Guru, Chen!" teriakku, menghindari sabetan pedangnya yang mematikan.
Dia menyeringai. "Benar. Guru sudah terlalu tua. Terlalu lemah. Aku pantas mendapatkan posisinya. Dan harta itu… milikku."
"Mengapa?" Aku terengah-engah. "Mengapa kau melakukan ini?"
"Karena… aku bukan hanya Jiang Chen yang kau kenal. Aku adalah pewaris garis keturunan yang sebenarnya. Aku adalah keturunan terakhir keluarga kerajaan yang dirampas kekuasaannya oleh leluhurmu, Lin Wei. Inilah saatnya untuk membalas dendam!"
Dunia berputar. Kebenaran menampar wajahku dengan keras. Semua janji, semua persahabatan, semua kebersamaan… hanyalah kepalsuan. Aku hanyalah alat baginya untuk mencapai tujuannya.
Pertarungan semakin sengit. Aku bertarung dengan segenap kekuatan, dengan amarah dan rasa sakit yang membakar. Akhirnya, pedangku berhasil menembus jantungnya.
Dia terhuyung mundur, menatapku dengan mata penuh kebencian. "Kau… kau tidak akan pernah… tahu…"
Saat Jiang Chen terkapar di hadapanku, aku melihat gulungan tersembunyi di balik jubahnya. Aku membukanya. Itu adalah silsilah keluarga. Di sana tertulis: Lin Wei, adalah keturunan keluarga kerajaan yang diculik saat masih bayi. Jiang Chen, diperintahkan untuk membunuhmu, namun memilih untuk melindungimu, berharap suatu hari kau bisa merebut kembali takhtamu.
Aku berlutut, menangis meraung. Akulah pengkhianat yang sebenarnya. Akulah yang membunuh pelindungku sendiri. Langit runtuh di atasku.
"Aku… menyesal..."
You Might Also Like: 0895403292432 Skincare Pencerah Wajah