Cinta yang Tumbuh dari Pengkhianatan
Hembusan angin malam menerpa tirai sutra kamarku, membawa serta melodi guqin yang lirih dari kejauhan. Di balik meja kayu cendana, aku merenung, menatap cermin perunggu yang memantulkan wajah pucatku. Lima tahun. Lima tahun sudah berlalu sejak hari itu. Hari ketika aku mengetahui bahwa dia, lelaki yang kucintai sepenuh jiwa, memilih wanita lain.
Bukan sekadar wanita lain. Melainkan sahabatku sendiri, Mei Lan.
Pengkhianatan itu menghancurkan hatiku. Lebih dari sekadar patah hati, rasanya seperti jantungku dicabut paksa. Namun, aku memilih DIAM. Bukan karena aku lemah. Bukan karena aku tidak mampu membalas. Tapi karena... rahasia itu. Rahasia yang terikat erat pada takdir keluarga kami, pada sesuatu yang lebih besar dari cinta dan dendam.
Aku ingat, saat itu, aku menemukan kalung giok milik Mei Lan di saku jubahnya. Kalung yang sama persis dengan milik ibuku, kalung yang seharusnya HANYA dimiliki oleh garis keturunan utama keluarga Li. Bagaimana bisa Mei Lan memilikinya? Pertanyaan itu menggantung di benakku, lebih berat dari palu godam.
Aku melihatnya diam-diam, mengamati setiap gerak-geriknya. Ada yang aneh dengan Mei Lan. Tatapannya, senyumnya, bahkan caranya berbicara... terasa berbeda. Seperti ada topeng yang dikenakannya.
Waktu terus bergulir. Aku, yang seharusnya menjadi pewaris tunggal keluarga Li, memilih mengasingkan diri. Aku melepaskan semua kekuasaan, jabatan, dan kehormatan. Aku membiarkan mereka merebutnya. Orang-orang mencibirku, menyebutku pengecut, lemah, tidak berguna. Biarlah. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Kemudian, sebuah surat datang. Dikirim oleh seorang biksu tua dari Kuil Bulan Sabit. Isinya singkat: "Putri Li, kebenaran akan terungkap saat bulan purnama merah."
Malam bulan purnama merah tiba. Aku kembali ke kediaman keluarga Li. Mereka menyambutku dengan tatapan sinis. Mei Lan, kini menjadi nyonya besar keluarga Li, tersenyum mengejek.
"Li Wei, akhirnya kau berani menampakkan diri. Mencari belas kasihan?" tanyanya dengan nada merendahkan.
Aku hanya tersenyum tipis. "Aku datang bukan untuk belas kasihan, Mei Lan. Aku datang untuk kebenaran."
Saat itulah, DIA datang. Suamiku, eh, mantan suamiku. Wajahnya pucat, tangannya gemetar. Dia menatap Mei Lan dengan tatapan ngeri.
"Siapa kau sebenarnya?" tanyanya dengan suara bergetar. "Siapa kau sebenarnya yang merasuki tubuh Mei Lan?"
Mei Lan tertawa. Tawa yang mengerikan, tawa yang tidak mungkin berasal dari gadis yang kukenal dulu. "Aku adalah yang seharusnya menjadi pewaris keluarga Li. Akulah yang seharusnya memiliki segalanya!"
Terungkaplah. Mei Lan adalah boneka. Dirasuki oleh arwah seorang leluhur yang dendam, yang ingin merebut kembali apa yang menurutnya menjadi haknya. Kalung giok itu adalah kuncinya, mediumnya.
Takdir pun berbalik arah. Kekuatan spiritual dalam diriku, yang selama ini kutahan, akhirnya bangkit. Bukan untuk melawan arwah itu dengan kekerasan, melainkan untuk membebaskannya. Aku membantunya mencapai kedamaian, melepaskannya dari belenggu dendam yang telah mengikatnya selama berabad-abad.
Mei Lan kembali menjadi dirinya sendiri. Dia menangis, menyesali semua yang telah terjadi. Mantan suamiku, hancur oleh kenyataan pahit, hanya bisa menunduk.
Aku pergi, meninggalkan mereka dengan beban penyesalan. Kediaman keluarga Li, yang dulunya adalah rumahku, kini hanyalah kenangan yang menyakitkan. Aku berjalan menuju malam, menuju takdirku yang baru.
Di kejauhan, aku mendengar suara guqin yang lirih. Kali ini, bukan hanya kesedihan yang kurasakan. Ada juga secercah harapan, secercah kedamaian. Namun... apakah aku benar-benar bebas dari masa lalu?
Mungkinkah, kebenaran yang sesungguhnya, masih tersembunyi di balik tirai?
You Might Also Like: Tafsir Disengat Burung Walet Wajib Kamu