Ia Menyebutku Dalam Podcast, Tapi Tak Menyebut Namaku
Bagian 1: Echoes of Carnations
Angin musim semi berbisik melalui celah jendela apartemen Yixing. Bau bunga anyelir, entah kenapa, selalu membuatnya merasa sentimental. Ia membenci anyelir. Atau, begitulah yang ia yakini.
Yixing adalah seorang produser podcast. Sebuah podcast misteri yang sedang naik daun, "Labyrinth of Whispers," adalah karyanya. Setiap malam, ia mengkurasi kisah-kisah mengerikan, cerita hantu, dan legenda urban, memberi suara pada mereka yang tak bersuara. Tapi malam ini, suara itu terasa terlalu familiar.
Podcast yang sedang diputar adalah wawancara dengan seorang penulis novel misteri terkenal, Tuan Lin. Suara Tuan Lin yang bariton dan dalam, mengisi ruangan. Yixing nyaris tidak memperhatikannya sampai Tuan Lin mulai membahas novel terbarunya, "Crimson Promise."
"Novel ini," kata Tuan Lin dengan nada berbisik yang menular, "terinspirasi oleh sebuah kisah nyata… tragis… tentang dua jiwa yang terikat oleh dosa dan janji seratus tahun lalu."
Jantung Yixing berdegup kencang. Ia merasa sesuatu dalam dirinya beresonansi dengan kata-kata itu, seperti gema dari jurang yang dalam.
Tuan Lin melanjutkan, "Ia adalah seorang jenderal perang yang kejam, dan ia adalah seorang pelukis yang lembut. Mereka saling mencintai dengan intensitas yang berbahaya. Tapi ambisi dan pengkhianatan merobek mereka. Sang jenderal mengkhianatinya, dan sang pelukis… menghilang."
Yixing membeku. Ia merasa seolah-olah ada tangan dingin mencengkeram tenggorokannya. Ini… kisah ini… kenapa terasa begitu nyata?
Kemudian, Tuan Lin mengucapkan sesuatu yang membuat Yixing kehilangan napas. "Sang jenderal, dalam penyesalannya yang abadi, menghabiskan sisa hidupnya mencari sang pelukis. Ia bahkan… menamai sebuah varietas anyelir baru dengan namanya."
Varietas anyelir?
Yixing segera mencari di internet. Ia menemukan sebuah artikel tentang anyelir 'Xia Hua', bunga berwarna merah tua yang mendalam, diciptakan pada awal abad ke-20. Bunga yang ia benci.
"Ia," kata Tuan Lin, suaranya bergetar dengan emosi, "terus memanggil namanya dalam setiap lukisan, setiap puisi, setiap perbuatan. Tapi ia… tidak pernah menjawab."
Yixing mematikan podcast. Kepalanya berputar. Ia merasa seperti baru saja terbangun dari mimpi yang panjang dan berdarah. Xia Hua. Nama itu terasa begitu familiar, begitu dekat, seperti sebuah kenangan yang terkunci dalam lubuk jiwanya.
Bagian 2: Fragments of Memory
Beberapa hari berikutnya, Yixing terobsesi. Ia meneliti segala sesuatu tentang Tuan Lin, tentang "Crimson Promise," dan tentang legenda sang jenderal dan sang pelukis. Setiap detail, setiap petunjuk, terasa seperti potongan teka-teki yang tersebar.
Ia menemukan lukisan-lukisan sang pelukis di museum online. Pemandangan yang indah, potret yang menyentuh jiwa… dan selalu, selalu, ada setangkai anyelir merah tua di sudut kanvas.
Ia bahkan menemukan catatan harian sang jenderal, yang ditulis dengan kaligrafi yang rumit dan berdebu. Kata-kata penyesalan dan cinta yang terobsesi memenuhi setiap halaman. Nama "Xia Hua" terukir di sana, berulang-ulang, seperti mantra.
Semakin banyak ia belajar, semakin kuat rasa deja vu yang menghantuinya. Ia mulai bermimpi. Mimpi tentang medan perang yang berlumuran darah, tentang kuas yang menari di atas kanvas, tentang janji yang diucapkan di bawah langit malam yang berbintang.
Dalam mimpinya, ia adalah Xia Hua. Ia merasakan cinta yang membara untuk sang jenderal, dan kemudian, rasa sakit yang menusuk pengkhianatan.
Suatu hari, Yixing memberanikan diri untuk menghubungi Tuan Lin. Ia meminta untuk bertemu.
Bagian 3: The Crimson Truth
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang tenang. Tuan Lin, seorang pria paruh baya yang tenang dan sopan, menyambut Yixing dengan senyuman hangat.
"Saya sangat tersentuh oleh podcast Anda," kata Tuan Lin. "Anda benar-benar menghidupkan kembali kisah saya."
"Kisah itu…" kata Yixing dengan suara serak, "terasa begitu nyata bagi saya. Terasa… seperti kenangan."
Tuan Lin mengangguk perlahan. "Mungkin… karena itu memang kenangan."
Yixing terkejut. "Apa maksud Anda?"
Tuan Lin menarik napas dalam-dalam. "Saya percaya pada reinkarnasi, Yixing. Dan saya percaya… bahwa Anda adalah Xia Hua."
Yixing tertawa pahit. "Itu tidak mungkin."
"Apakah begitu?" Tuan Lin mengeluarkan sebuah kotak kecil dari sakunya. Ia membukanya dan memperlihatkan sebuah liontin perak. Liontin itu berbentuk kuas, dan diukir dengan kata-kata: "Xia Hua."
"Saya menemukan ini di rumah leluhur saya," kata Tuan Lin. "Rumah yang dulunya milik Jenderal itu. Saya… adalah keturunan Jenderal itu."
Yixing menatap liontin itu, air mata mengalir di pipinya. Kenangan banjir dalam benaknya. Cinta, pengkhianatan, rasa sakit, pengampunan… semua bercampur aduk menjadi satu.
"Dia… mengkhianatiku," bisik Yixing.
"Ya," kata Tuan Lin dengan sedih. "Dia melakukan kesalahan yang mengerikan. Dia dibutakan oleh ambisi. Dia… menyesalinya setiap hari dalam hidupnya."
"Dan sekarang?" tanya Yixing. "Apa yang ingin Anda lakukan?"
Tuan Lin menunduk. "Saya… hanya ingin meminta maaf. Atas nama leluhur saya. Saya tahu itu tidak akan mengembalikan apa yang hilang, tetapi… saya harap Anda bisa menemukan kedamaian."
Yixing menatap Tuan Lin. Ia melihat penyesalan yang tulus di matanya. Ia melihat beban dosa masa lalu yang ditanggungnya.
Lalu, Yixing melakukan sesuatu yang tidak terduga. Ia tersenyum.
"Tidak perlu meminta maaf," katanya dengan tenang. "Dia sudah cukup menderita."
Yixing berdiri dan berjalan pergi. Ia tidak menoleh ke belakang. Ia tidak marah. Ia tidak dendam. Ia hanya… merasa kosong.
Ia membalas dendam bukan dengan kemarahan, tetapi dengan keheningan dan pengampunan yang menusuk. Ia membiarkan masa lalu tetap di masa lalu. Ia memilih untuk fokus pada masa depannya.
Penutup
Yixing kembali ke apartemennya. Ia melihat ke luar jendela, ke arah langit malam yang luas. Ia menarik napas dalam-dalam.
Bunga anyelir di mejanya tampak lebih indah malam ini. Ia meraih salah satunya, membelainya dengan lembut.
"Xia Hua…" bisiknya.
Itu bukan namanya lagi.
Tetapi di suatu tempat, di kedalaman jiwa yang abadi, ia mendengar gema bisikan lain… "Yixing… Tunggulah aku…"
You Might Also Like: 119 Discover Consumer Bank Top Images