Aku Mencintaimu di Bawah Langit yang Sama, Tapi di Dunia yang Berbeda
Langit Nanjing selalu abu-abu, seperti lukisan muram yang tak pernah selesai. Di bawah langit itulah, Lian dan Bai tumbuh bersama. Lian, dengan senyumnya yang cerah seperti mentari pagi, dan Bai, dengan tatapan setajam elang yang menyembunyikan badai di dalamnya. Mereka bukan saudara kandung, bukan pula teman biasa. Mereka adalah 盟友 (méng yǒu) – sekutu, terikat sumpah darah dan dendam terhadap keluarga Zhao yang kejam.
"Lian," bisik Bai suatu malam, di bawah rembulan yang mengintip malu-malu, "Apakah kau percaya takdir?"
Lian tertawa pelan, suaranya merdu bagai lonceng angin. "Takdir? Itu omong kosong yang diceritakan para pengecut, Bai. Kita menciptakan takdir kita sendiri."
Namun, takdir punya cara aneh untuk bermain-main. Rahasia keluarga Zhao perlahan terkuak, mengungkap benang merah yang tak terduga. Ternyata, Bai adalah putra haram Zhao, dilahirkan dari seorang selir yang dibuang ke jalanan. Dendam yang selama ini mereka genggam bersama, kini berbalik arah, mengancam persahabatan dan sumpah mereka.
"Kau... putra Zhao?" tanya Lian, suaranya bergetar, matanya memancarkan luka yang dalam.
Bai menunduk, bahunya bergetar. "Aku tidak memilih dilahirkan seperti ini, Lian. Tapi darah Zhao mengalir dalam diriku. Aku... aku tidak bisa mengkhianati darahku."
Pengkhianatan. Kata itu menggantung di udara seperti pedang yang siap menebas. Lian merasakan hatinya hancur berkeping-keping. Selama ini, Bai adalah segalanya baginya. Sahabat, saudara, dan… cinta yang tak terucapkan.
Malam itu, di bawah langit Nanjing yang kelabu, Lian dan Bai berdiri berhadapan. Pedang mereka berdenting keras, memecah keheningan. Setiap sabetan pedang adalah ungkapan cinta yang terluka, harapan yang pupus, dan janji yang dilanggar.
"Kenapa, Bai? Kenapa kau memilih mereka? Setelah semua yang kita lalui bersama!" teriak Lian, air mata mengalir di pipinya.
Bai tidak menjawab. Matanya gelap, penuh dengan kebencian dan rasa sakit yang sama. "Kau tidak mengerti, Lian. Keluarga adalah segalanya."
Pertarungan berakhir dengan satu tebasan fatal. Pedang Lian menembus jantung Bai. Bai terhuyung mundur, darah membasahi jubahnya.
Saat Bai terbaring di tanah, sekarat, Lian berlutut di sampingnya. Air matanya jatuh membasahi wajah Bai.
"Aku... mencintaimu, Bai. Aku selalu mencintaimu."
Bai tersenyum tipis, darah mengalir dari mulutnya. "Aku... juga... Lian. Tapi kita… terlahir di dunia yang berbeda…"
Lian menangis tersedu-sedu, memeluk tubuh Bai yang semakin dingin. Dendam telah terbalaskan, tetapi hatinya hancur berkeping-keping. Kemenangan ini terasa pahit, seperti racun yang membunuh perlahan.
Lalu, dengan suara lirih, sebelum menghembuskan nafas terakhirnya, Bai mengucapkan satu kalimat yang akan menghantui Lian selamanya:
"Jaga rahasia itu... demi kita berdua..."
You Might Also Like: 61 Manfaat Tabir Surya Non Nano Untuk